Friedrich Karl von Savigny (1770-1861), Pemikir utama dalam Mahzab Sejarah Hukum

Saturday, 6 November 2010

Jurnal Hukum XI

TOPIK XI : Positivisme Hukum (Part 2)

TANGAL : 27 Oktober 2010

SUBSTANSI :

1. The Pure Norm Theory
- Hukum harus dipisahkan dari moral.
Analisis hukum ditujukan pada analisis norma (perintah penguasa), bukan pada perilaku (real product).
- Hukum harus dipisahkan dari fakta.
Cara melihat norma dengan memposisikan norma sebagai nomodynamics.

2. The Pure Norm Theory
- Sumber hukum adalah norma yang lebih tinggi.
Hukum terbentuk secara dinamis, dan validitas norma harus diukur dari norma juga (bukan moral). Karena norma berjenjang, maka ukuran validitas adalah norma yang lebih tinggi.
- Tujuan dari hukum adalah kepastian hukum. Keadilan, kemanfaatan bukan persoalan ilmu hukum.

3. Imputation
- Imputation (zuhrenung) terkait dengan kapasitas seorang subjek hukum untuk melakukan perbuatan hukum.

- H.L.A. Hart
Hart setuju “law as a command”. Tapi, pandangan Kelsen tentang “grundnorm” terlalu sederhana. Orang menaati hukum bukan karena hukum itu berlaku (secara hipotetis), melainkan karena orang menyesuaikan diri padanya.
Hart menyoroti hukum yang terjadi pada masyarakat yang sederhana.
Menurut Hart, the ultimate rule (of recognition) sebagai sumber hukum tertinggi.


REFLEKSI :

1. Nomodynamics melihat dari kaca mata normanya (norms regulating human behavior), dimana kekuasaan akan terlihat pada perkembangan hukum ini kemudian terbentuklah dinamika hukum. Sedangkan nomostatics melihat dari kaca mata perbuatannya (the human behavior regulated by norms).

2. Dalam nomostatics suatu norma khusus adalah valid karena bergantung pada substansinya yang dapat diderivasi atau dideduksikan dari norma umum. Norma hukum tidak mendasarkan validitasnya berdasarkan pola nomostatics ini.
Menurut Kelsen, validitas seperti ini (validitas ditentukan berdasarkan isi norma) tidak terjadi pada norma hukum, melainkan pada norma moral. Validitas pada norma hukum ditentukan oleh cara pembuatannya (formalitasnya), yaitu sebagai nomodynamics.
Sedangkan dalam nomodynamics norma dasar memberikan kewenangan bagi otoritas negara untuk membentuk norma-norma individual. Otoritas yang lebih tinggi memberikan kewenangan kepada otoritas dibawahnya lagi, sehingga terbentuk rantai pembentukan hukum (chain of creation).

3. Grundnorm hanya dilihat dari aspek bentuknya, bukan isi normanya. Untuk mengisinya, diperlukan bantuan ilmu-ilmu lain (hal ini jelas akan ditolak Kelsen atas nama pemurnian hukum). Kelsen memandang topik keadilan juga harus ditolak dari wacana teori murni, keadilan merupakan sesuatu yang irasional.

4. Dalam imputation pertanggungjawaban dalam hukum ditetapkan sepenuhnya oleh norma itu sendiri, dan bukan oleh hubungan logis (kausalitas) antara norma dan fakta.

5. Menurut H.L.A. Hart, primary rules recognition itu adalah aturan yang belum tersistem dalam hukum negara (undang-undang). Perlu untuk mengakui karena ada pengakuan yang demikian primer kepada negara sebagai pembentuk hukum.
Dan untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkan oleh aturan primer yang makin kompleks dalam masyarakat, maka diperlukan aturan sekunder. Jadi, secondary rule of recognition itu adalah aturan primer yang sudah disistematisasi menjadi hukum negara (undang-undang).
The ultimate rule (of recognition) sebagai sumber hukum tertinggi. Isinya bukan berisi “apa saja” melainkan sesuatu. Sesuatu tentang kebenaran yang digantungkan pada umat manusia dan dunia tempat mereka hidup (dipakai untuk mempertahankan ciri-ciri utama yang menonjol yang mereka miliki).

6. Ultimate rule of recognition:
- Dapat mencangkup beberapa kriteria keabsahan;
- Berfungsi untuk mengidentifikasi aturan;
- Keberadaannya adalah suatu fakta (eksis, tapi tidak bisa ditunjukkan keberadaannya);
- Keabsahannya bukan karena paksaan;
- Menanamkan keabsahan terhadap aturan di dalam sistem hukum (dengan mengakui aturan primer dan sekunder);
- Menyediakan sarana untuk menyatukan sistem hukum;
- Sesuatu yang sah belum tentu efektif, demikian pula sebaliknya.


DISKUSI :
1. Apakah yang terjadi jika hukum hanya menjadi sekedar perintah penguasa semata-mata?
2. Apakah kepastian hukum telah dapat dilaksanakan sejalan dengan penerapannya?

No comments:

Post a Comment