Friedrich Karl von Savigny (1770-1861), Pemikir utama dalam Mahzab Sejarah Hukum

Monday, 29 November 2010

Jurnal Hukum XVII

TOPIK XVII : Critical Legal Studies (CLS)

TANGAL : 26 November 2010

SUBSTANSI :

Latar belakang:
Ada 3 tradisi pemikiran CLS: Jerman, Inggris & AS
Roberto Unger mengeluarkan teori “Masyarakat Pasca Liberal”
Dasar berpikir CLS :
- Hukum adalah produk politik
- Aturann Hukum= aturan politik
- Tak ada “the rule of law”. Yang ada “political rules”
- Politik terkait dengan kekuasaan
- Aturan hukum: aturan dari siapa yang berkuasa. Yang berkuasa adalah elit politik dan seringkali tidak mencerminkan keadilan.

Menentang 2 tradisi Positvisme Hukum
-“rule of law”→jaminan bagi kebebasan individual dan kesamaan kedudukan di hadapan hukum
-“legal reasoning”→penalaran hukum: penalaran moral dan politik
-tak mungkin “equal” karena: ada hierarki kekuasaan dalam masyarakat

Kritik filsafat dari CLS:
Diajukan terhadap pandangan kaum liberal:
• Menurut CLS, hukum sebagai produk politik mencerminkan keinginan elit politik dan seringkali tidak mencerminkan keadilan.
• Kritik terhadap hak
Menurut CLS, wacana “hak” oleh kaum liberal hanya menguntungkan kelas tertentu.
• Kritik terhadap pendidikan hukum
Menurut CLS, pendidikan hukum oleh kaum liberal hanya sebagai pelatihan ideologi (demi kepentingan pemerintahan & dunia usaha)

CLS menjawab Kritik:
Kritik yang diajukan oleh Owen Fiss: CLS ingin membuka topeng hukum, tetapi tidak bermaksud menjadikan hukum tambah efektif. Tujuan kritik CLS adalah kritik itu sendiri (nihilisme). Padahal, kritik tanpa visi alternatif hanya menuju→ kematian hukum. Kelemahan CLS -> tidak memberi solusi, hanya mengarahkan.
Jawaban:
-Kritik ini perlu demi membuka jalan mengubah (transformasi) tradisi hukum.
-Nilai tambah CLS terletak pada pertanyaannya yang radikal terhadap system aturan hukum yang selama ini diterima secara alamiah, netral, dan objektif
-Hukum sudah kehilangan kalimnya untuk menjamin peradaban dan obat procedural bagi dunia nyata yang penuh konflik.





REFLEKSI :

Kemunculan critical legal studies menjadi salah satu pandangan yang banyak dianut karena melihat kenyataan-kenyataan bahwa hukum yang ada pada masyarakat ini tidak berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Sebagai salah satu aliran yang muncul dari adanya realisme hukum yaitu bahwa hukum yang ada berada di pikiran orang awam berbeda dengan yang ada di pandangan orang yang belajar hukum, sehingga banyak menimbulkan kritik- kritik. Di samping itu, unsur politis dalam suatu Negara merambat ke segala aspek, termasuk hukum yang merupakan bidang ilmu yang sangat dekat sekali dengan politik, baik dalam segi pendidikan maupun kehidupan nyata.
Critical Legal Studies ditujukan sebagai pendekatan yang dapat secara radikal kepada hukum dan ekonomi yang mengakui dan memproses kontradiksi-kontradiksi bermuatan politis dalam ketertiban.




DISKUSI :
1. Bagaimana Critical Legal Studies dipakai untuk mengkritik Negara kesejahteraan?
2. Apakah CLS bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan?
3. Apa perbedaan mendasar antara CLS, Critical race theories, dan Feminist legal philosophy?

Jurnal Hukum XVI

TOPIK XVI : Realisme Hukum (Part II)

TANGAL : 26 November 2010

SUBSTANSI :

4 hal penting dalam Realisme Hukum:
1. Realism builds on earlier challenges to formal law
2. Law is in flux and created by judges
3. Law is means to an end- it serves social purposes which can be examined
4. Judges are human

Varian besar Realisme Hukum:
*Amerika: - Rule Skeptics
- Fact Skeptics

*Skandinavia: Metaphysic-Skeptics

Dasar berpikir Realisme Hukum:
-Oliver Wendell Holmes Jr. :
Apa yang diputuskan pengadilan lain yang menjadi hukum, kalau belum diputus belum jadi hukum.
Kalo tidak ada pelanggaran hukum, hukum tidak perlu dibuat, (sesuatu baru perlu dibuat kalau ada kejadiannya).

-Karl Llewellyn :
Sumbangan terbesarnya adalah pandangan tentang Functionalism, yakni mengartikan hukum sebagai msin yang punya tujuan tertentu. Mesin ini punya beberapa fungsi dasar tertentu (tidak terkait dengan nilai- nilai di dalamnya); fungsi Law-Jobs.
Fungsi fundamental dari hukum; Law Jobs:
Jika masyarakat ingin bertahan , maka di bidang hukum ada 6 “law jobs” yang harus dilakukan:
1. Adjustment of trouble cases
2. Preventive channeling of conduct and expectations
3. Preventive rechanneling of conduct and expectations to adjust to change
4. Allocation of authority and determination of procedures for authorities
5. Provision of direction and incentive within the group
6. The job of the juristic method

Jerome Frank : (paling ekstrem)
Holmes & Llewellyn dinilainya hanya Rule Skeptics, seorang realis harusnya Fact Skeptics

Ontologis:

Hukum= manifestasi makna- makna simbolik para pelaku social
Epistemologis:
Nondoktrinal- induktif (pendekatan interaksional mikro)
Aksiologis:
Kemanfaatan




REFLEKSI :

Keberadaan Realisme Hukum menjadi salah satu dasar dari pemikiran- pemikiran modern sampai saat ini, menjadi fondasi dari pemikiran paling up to date dalam hukum.
Realisme hukum menjadi aliran pertama yang paling realistis dan sesuai dengan kehidupan masyarakat nyata. Penganut- penganut aliran berpikir ini, baik Llewellyn, Holmes, maupun Frank merupakan orang- orang skeptic murni yang menganggap suatu aturan tertulis adalah tidak banyak berguna karena di dalam kenyataan hakim menentukan suatu putusan jika hanya berdasarkan undang- undang menjadikan putusan tersebut tidak efektif.

Di amerika sendiri, teori Positivisme dianggap membodohi hakim karena hakim dianggap hanya memutuskan berdasarkan peraturan yang ada, mengambil keputusan dengan sangat mudah tanpa melihat aspek- aspek lainnya.

Pernyataan 2 tokoh realisme hukum yang penting adalah:
-Karl Llewellyn
Prediktibilitas putusan tetap perlu dijaga. Hakim banding justru perlu ikut memperhatikan fakta- fakta.
-Jerome Frank
Tidak perlu selalu menjaga prediktibilitas putusan. Hakim membuka diri untuk memutuskan berbeda untuk tiap kasus.

Namun, Skeptic sendiri terbagi dalam beberapa aliran lagi yaitu:

Rule Skepticism: (Mac Galanter)
-Hukum tidak berbunyi seperti undang- undang
-Konsep “the rule of law” hanyalah retoris; yang berlaku “the rule of ruler”
-The have always comes out ahead

Fact Skepticism:
-Setiap kasus adalah unik. Ada fakta- fakta kemajemukan (Pluralisme) yang harus diperhatikan
-Hukum ditentukan oleh struktur kasus (pendekatan mikro)
-Kemampuan merekonstruksi fakta makin jauh setelah kasus memasuki pengadilan banding tersebut

Realisme Sakndinavia:
Untuk memahami hukum, perlu dipelajarai kondisi metafisis masyarakat dalam melihat hukum itu. Secara metafisis hukum, kekuasaan yang menakutkan. Undang- undang tidak memuat tentang kebenaran, melainkan sekedar gagasan yang metafisis.
⇒ Melihat hukum secara metafisis, tidak sekedar janji- janji yang ada di dalam undang- undang sebenarnya bukan karena sanksi ketertiban itu bisa ada, tapi karena keadaan tertentu/ tidak terbiasa



DISKUSI :
1. Bagaimana realisme hukum menjadi acuan dalam sistem hukum civil law?
2. Realisme hukum tidak bergantung pada aturan tetapi pada fakta, sedangkan fakta itu tidak ada yang paling hakiki sama seperti aturan tapi aturan juga dapat dibuat- buat pada saat pembuktiannya,
3. Menurut Oliver Wendell Holmes, aliran realisme yang mengatakan bahwa putusan hakim itu menjadi hukum, kalau belum diputus maka belum menjadi hukum, apakah setiap putusan itu pada kasus yang serupa pasti sama?

Wednesday, 24 November 2010

Jurnal Hukum XV

TOPIK XV : Realisme Hukum (Part I)

TANGGAL : 19 November 2010

SUBSTANSI:
Faktor- faktor yang mendorong pergerakan Realisme Hukum:
- Tahun 1920an masyarakat mulai menguji nilai- nilai tradisional (hukum itu tidak berat sebelah, hakim itu adil)
- Kemajuan ilmu pengetahuan dengan munculnya banyaknya ilmu- ilmu baru
- System pemberitaan nasional menunujukan banyaknya varietas peraturan

9 point mendorong lahirnya aliran realis: (9 Points of departures common to the realists, by: Llwellyn)
1. The conception of law in flux, of moving law, and of judicial creation of law
Kalau ingin menjadi realis, kita seharusnya menganggap hukum itu merupakan hal yang dinamis, bergera, bukannya momentary atau seperti sebuah potret.
2. The conception of law as means to social ends, and not as an end in itself
Konsep dari hukum bertujuan pada suatu akhir bukan merupakan akhir dari sesuatu, maksudnya dari suatu undang- undang yang dibuat bukanlah merupakan suatu akhir atau pencapaian namun hasil yang didapat dari pembuatan undang- undang tersebut nantinya.
3. The conception of society in flux- faster than law
Pada kenyataannya hukum tetap lebih lamban dari fakta, terkadang kecolongan oleh hal- hal baru yang belum ada pengaturannya.
4. The temporary divorce of ‘is’ and ‘ought’ for the purpose of study (mengikuti bayangan positivisme hukum)
Adanya perbedaan pandangan tentang apa itu hukum, kita sebagai orang- orang yang belajar hukum menganggap hukum sebagai suatu undang- undang, namun masyarakat melihat hukum sebagai apa yang mereka alami sehari- hari, tidak semata- mata undang- undang.
5. Distrust of traditional legal rules and concepts as descriptive of what courts or people actually do
Aliran ini tidak mempercayai konsep hukum tradisional , hanya menganggapnya sesuatu yang deskriptif saja (tradisional teori menganggap undang- undang sbg ancang- ancang saja, tdk menggambarkan akan begitu)
6. Distrust of the theory that traditional prescriptive rule formulations are the main factor in producing court decision
Tidak percaya pada pandangan tradisional bahwa hukum yang dibuat oleh hakim misalnya selalu berdasarkan pada peraturan dan asas- asaa yang ada, pada kenyataannya tidak.
7. The belief in grouping cases and legal situations into narrower categories (analisis hukum secara mikro)
Kepercayaan bahwa menganalisis fakta harus dengan cara mikro (mengategorikan secara sempit), tidak percaya pada undang- undang karena mengeneralisasi hal- hal, seharusnya tidak demikian, fakta yang menentukan hukum
8. An insistence of evaluating the law in terms of its effects (bersikeras mengevaluasi efek hukum)
Selalu berusaha mengevaluasi efek, bermanfaat atau tidak bermanfaat.
9. An insistence on sustained and programmatic attack on the problems of law
Desakan yang keras antara cause and effect, dapat berujung pada pragmatis.

REFLEKSI:
Sejauh ini realisme hukum menggambarkan suatu konsep hukum yang berbeda dari aliran filsafat hukum lain. Realisme hukum memandang hukum sebagai sesuatu yang rigit, kaku, dan tidak dapat mengejar fakta. Sehingga dalam realisme, hukum perlu diatur berdasarkan kenyataan atau fakta yang ada dalam kehidupan sehari- hari.

Tuesday, 23 November 2010

Jurnal Hukum XIV

TOPIK XIV : Sociological Jurisprudence & Teori Hukum Pembangunan

TANGAL : 12 & 19 November 2010


I. SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE


SUBSTANSI :
A. Kondisi menjelang abad ke-19 mengalami “the legal gap” antara hukum positif dan kehidupan riil di masyarakat dan juga memunculkan 2 arus pemikiran di Amerika Serikat yaitu:
1. The Sociological Jurisprudence;
2. The Legal Realism.

B. Dalam sosiologi dikenal ada 2 pendekatan utama dalam melihat masyarakat, yaitu:
1. Structural Functional Approach;
2. Conflict Approach yang terdiri dari:
a. Structuralist Marxist:
Melihat masyarakat adalah suatu sistem yang bagian-bagiannya saling berhubungan timbal balik, sehingga memuncukan suatu ketegangan dan penyimpangan dan diatasi melalui suatu proses institusionalisasi secara gradual.
b. Structuralist Nonmarxist:
Masyarakat menghadapi proses perubahan yang tidak pernah berhenti sehingga proses itu menimbulkan konflik. Setiap unsur dalam masyarakat memberi sumbangan bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk disintegrasi sosial.

C. Ada perbedaan-perbedaan istilah di Amerika Serikat dan di Inggris mengenai hal ini yaitu:
1. Di Amerika menyebutnya dengan Law and Society;
2. Di Inggris menyebutnya dengan Law in Society atau Law as it in Society.

D. Menurut Roscoe Pound:
“the practical process of the legal order doesn’t stop at finding by experience, by trial and error and judicial inclusion and exclusion, what will serve to adjust conflicting of overlapping interest. Reason has its part as well as experience. Jurists work out the jural postulates, the presuppositions as to relation and conduct, of civilized society in the time and place and arrive in this way at authoritative starting points for legal reasoning.”

“i am not offering this idea of social engineering as a cure-all to be taken over by political and juristic theory and used to solve all the difficult problems of the science of law in the world today. The task of the lawyer is as a ‘social engineer’ formulating a program of action, attempting to gear individual and social needs to the value of Western democratic society”.


E. LAW is not an ACT

Yang dimaksud “law” dalam konsep “law as a tool of social engineering” sebagian besar adalah berupa “judge made law”. Sedangkan di Indonesia, law itu dianggap undang-undang. Pound tidak mengabaikan undang-undang sama sekali,tetapi ia menganjurkan agar dewasa ini UU yang dibentuk seyogyanya lebih melindungi hak-hak sosial.

F. Taksonomi Kepentingan
Terbagi atas:
1. Individual Interest:
a. Personality
b. Domestic relations

c. Interest of substance
2. Public Interest:
a. Interest of the state as juristic person
b. Interest of the state as guardian pf social interest

3. Social Interest:
a. Social interest in the generally security
b. Social interest in the security of social institutions
c. Social interest in general morals
d. Social interest in the conservation of social resources
e. Social interest in general progress


REFLEKSI:
Dalam aliran socilogical jurisprudence ini memilki satu ciri yang menarik karena aliran ini meyakini bahwa sesuatu itu menjadi hukum kalau telah dialami. Adanya arus yang muncul di Amerika Serikat yaitu The Sociological Jurisprudence dan The Legal Realism, keduanya pemikiran tersebut mengusung pendekatan sosiologis ke dalam ilmu hukum.
Mengenai pendekatan sosiologis terhadap hukum khususnya dalam Structural Functional Approach, sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, tetapi sistem sosial itu selalu bergerak ke arah ekuilibrium yang dinamis dan menanggapi perubahan dari eksternal dengan kecenderungan memelihara agar perubahan dalam sistem mencapai derajat minimal saja. Sedangkan dalam Conflict Approach, menyebabkan adanya konflik sebagai akibat dari proses perubahan yang tidak pernah berhenti. Apa yang dimaksud konfik itu? Konflik dalam hal ini adalah gejala yang melekat dalam perubahan sosial. Selain menyebabkan suatu perubahan sosial, konflik itu juga menyebabkan disintegrasi sosial dimana dalam disintegrasi sosial itu selalu ada dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang lainnya.
Adanya suatu perbedaan-perbedaan istilah yang digunakan di Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya berangkat dari hukum. Tetapi tatkala membahas tentang aspek know-why (mengapa hakim sampai memutuskan demikian?) dipakai juga bantuan kajian sosiologi hukum. Hakikat hukum dimana berkembang di Amerika sehingga disebut dengan American Sosiological Jurisprudence. Hukum adalah putusan hakim in-concreto dan menyesuaikan antara living law (hukum yang hidup) dan norma positif.

Pendapat Roscoe Pound mengenai Sociological Jurisprudence “experience is developed by reason on this basis and reason is tested by experience”. Ia juga berpendapat bahwa:
1. Hukum merupakan sarana kontrol sosial khusus yang dapat diefektifkan dalam proses yudisial dan administratif;
2. Ada hubungan fungsional antara hukum dan masyarakat;
3. Sangat penting untuk mencermati sejauh mana putusan-putusan hakim/administrasi berpengaruh positif bagi masyarakat.

Apa yang menjadi fungsi (tugas) dari hukum?
1. Pengendalian sosial (social control), maka hukum itu harus berfungsi untuk menertibkan dan sebagai alat penyelesaian sengketa. Dan
2. Menurut Roscoe Pound, hukum adalah rekayasa sosial. Ia juga berpendapat bahwa:
a. Tugas negara adalah melindungi hak (kepentingan);
b. Dan dalam perkembangannya, ada 3 jenis hak, yaitu:
1. Berupa kepentingan individu,
2. Berupa kepentingan umum (hak badan-badan pemerintah),
3. Berupa kepentingan sosial (hak atas SDA, keamanan, dll).
Dimana kedua hak yaitu kepentingan indivdu dan kepentingan umum sangatlah diperjuangkan pada abad-19. Sehingga Sociological Jurisprudence harus mendorong hak yang berupa kepentingan sosial itu agar dapat berjalan dengan baik di masyarakat.
Dalam hal ini, maka yang menjadi tujuan hukum bagi sociological jurisprudence dan sosilogi hukum itu berbeda. Sociological Jurisprudence bukanlah cabang dari ilmu, tetapi adalah salah satu aliran dalam Filsafat Hukum. Sedangkan Sosiologi Hukum adalah cabang/disiplin dari sosiologi. Jadi, dapat dikatakan bahwa keduanya sama-sama tertarik pada hukum. Sociological Jurisprudence melihat masyarakat dari sudut pandang hukum. Sosiologi hukum melihat hukum dari pandangan masyarakat.

DISKUSI:
1. Bagaimana cara aliran Sociological Jurisprudence ini mendorong agar hak berupa kepentingan sosial atas SDA dan keamanan dapat terpenuhi?




II. TEORI HUKUM PEMBANGUNAN


SUBSTANSI :
A. Teori Hukum Pembangunan:
1. Arti dan fungsi hukum dalam masyarakat adalah hukum untuk ketertiban kemudian dipikirkan selanjutnya mengenai keadilan dan kepastian;
2. Hukum adalah sebagai kaidah sosial sehingga ia merupakan bagian dari sistem kaidah sosial;
3. Hubungan hukum dengan kekuasaan, menyebabkan kekuasaan tunduk pada hukum;
4. Hubungan hukum dengan nilai sosial budaya dimana hukum yang baik adalah sesuai dengan living law (hukum yang hidup);
5. Hukum sebagai “a tool of social engineering”, dimana hukum harus berperan dalam perubahan sosial dalam melangsungkan pembangunan nasioanal.

B. Beberapa Teori Hukum Pembangunan
1. Teori “Kebudayaan” Northrop;
2. Teori “Kebijakan Politik” Laswell-MacDougall;
3. Teori “Social Engineering” Pound (minus konsepsi mekaniknya);
4. Konteks keindonesiaan.

C. Problema Pembangunan Hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja
1. Pluralisme sosial dan hukum kebiasaan;
2. Pluralisme hukum, sebagai akibat dari kolonialisme;
3. Sukarnya mementukan tujuan perkembangan hukum, dll.

D. Pluralisme Hukum menurut EHRLICH
Hukum bisa sebagai aturan untuk membuat keputusan (positivisme hukum) dan sebagai aturan berperilaku. Ehrlich juga mengajukan 3 koreksinya:
1. Hukum tidak hanya dapat diciptakan oleh negara;
2. Hukum buka merupakan satu-satunya landasan pengambilan keputusan oleh lembaga peradilan atau arbitrase;
3. Hukum bukan satu-satunya alat bagi pemaksaan penataan masyarakat terhadap suatu keputusann yang telah diambil oleh pengadilan atau arbitrase.

REFLEKSI:
Teori Pembangunan Hukum ini dipelopori oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M yang juga disebut sebagai arsitek hukum pada jaman Orde Baru. Teori ini beranjak dari:
1. Konteks keindonesiaan atau semangat pembangunan, dimana pembangunan memiliki perspektif pragmatik;
2. Perspektif hubungan hukum dan masyarakat.
Law in the Books sebagai Social Order dan Law in Action (living law) sebagai Social Engineering bersama-sama mempunyai tujuan untuk menciptakan ketertiban, kepastian dan keadilan dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Dalam menjalankannya, maka yang berperan adalah aparat negara yang memiliki sense of public service.

Mengenai teori hukum pembangunan, dikenal beberapa teori yaitu:
1. Teori kebudayaan, mengatakan bahwa tidak hanya norma (buatan negara), melainkan juga kode etik institusi lain (aturan berperilaku dalam masyarakat untuk menjaga relasi sosial mereka).
2. Teori kebijakan publik mengatakan bahwa hukum adalah proses.
3. Teori Social Engineering, mengatakan bahwa hukum harus diarahkan ke tujuan pragmatik.
4. Konteks keindonesiaan yaitu adanya semangat pembangunan.
Ada beberapa problema yang muncul dalam pembangunan hukum menurut Mochtar, antara lain resistensi masyarakat terhadap perubahan (akibat kuatnya hukum kebiasaan), sedikitnya data empirik untuk analisis deskriptif dan preskriptif dan sukarnya indikator objektif tentang berhasil tidaknya pembangunan hukum itu.
Manusia berperilaku menrurut hukum, terutama untuk menjaga relasi sosial. Jadi, hukum sama saja dengan normal lainnya (sebagai kode etik). Negara bukan satu-satunya “perkumpulan” yang bisa memaksakan hukum. Ada banyak “perkumpulan” yang kadang lebih efektif dari negara. Sebagai prioritas, maka undang-undang adalah sebagai saran pembangunan masyarakat. Undang-undang itu dibagi 2, yaitu:
1. Undang-undang netral, yaitu undang-undang yang tidak terkait dengan aspek-aspek primordial;
2. Undang-undang non-netral, yaitu undang-undang yang terkait dengan aspek-aspek primordial.
Undang-undang netral sebanyak mungkin harus ditingkatkan untuk membatasi masyarakat, contohnya seperti undang-undang penanaman modal, perpajakan, kepailitan dsb.


DISKUSI:

1. Selain negara yang adalah “perkumpulan” yang dapat memaksakan hukum, menurut Ehrlich masih ada “perkumpulan” lain yang lebih efektif dari negara. Apa sajakah itu?

Saturday, 13 November 2010

Jurnal Hukum XIII

TOPIK XIII : Mazhab Sejarah

TANGAL : 5 & 10 Oktober 2010

SUBSTANSI :

Dalam mazhab sejarah, hukum tumbuh secara evolusioner dengan dipandu jiwa bangsa, Mazhab sejarah muncul sebagai reaksi atas semangat kodifikasi pada saat itu yg sangat identik dengan aliran positivism dimana mazhab sejarah lebih identik dengan aliran hukum kodrat karena sama-sama mempunyai jiwa yakni mazhab sejarah berjiwa bangsa nasional sedangkan aliran kodrat bersifat universal. Jiwa bangsa adalah kehendak-kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam suatu negara yang bersifat khas dimana jika ingin diajarkan ke negara lain maka hanya bungkus formalnya saja yang dapat dipindahkan sedangkan rohnya tidak dapat dipindahkan karena setiap negara mepunyai jiwa bangsa sendiri.

Tokoh : Von Savigny
Pokok-pokok pikirannya :
• Tidak ada manusia individu yang ada manusia sosial
• Hukum sesuatu yg supraindivudual, suatu gejala masyarakat, terkait dengan kehidupan sejarah suatu masyarakat
• Pada masyarakat primitif, hukum dibentuk tanpa rekayasa melalui jiwa bangsa (volkgeist)
• Jiwa bangsa terus dpelihara melalui keyakinan mendalam atas jiwa bangsa dengan bantuan unsur politik dan unsure teknis.

Tokoh : Paul Ricoeur
Pendapatnya : Sejarah adalah peristiwa-peristiwa yang dihubungkan oleh suatu plot dalam bentuk suatu narasi jadi sejarah terkesan alamiah padahal tidak karena plot merupakan hasil rekayasa pengarang tersebut.


REFLEKSI :

Dalam mazhab sejarah, hukum tidak dapat dibuat tetapi tumbuh didalam kehidupan masyarakat dimana hukum merupakan refleksi dari sosial budaya masyarakat agar efektif sebagai social control. Oleh karna itu dalam historisme hukum sangat menjunjung tinggi pluralise karena hukum merupakan suatu sistem kultural yang bersumber pada jiwa bangsa yang terilhami oleh romantisme hukum. Terdapat dilema dimana sejarah itu bukanlah bersifat ilmiah karena menurut Paul Ricoeur, sejarah adalah suatu plot yang menghubungkan peristiwa-peristiwa sehingga sejarah itu hanya milik seorang pemenang/pengarang sehingga subjektifitas akan sangat berperan dalam hal ini sehingga sejarah tidak muncul secara alamiah. Terdapat kelemahan dalam mazhab sejarah karena hukum akan sangat sulit berkembang karena terlalu berorientasi pada masa lampau dan walaupun berkembang dalam waktu yg cukup lama karena tergantung dari perkembangan dari masyarakat itu sendiri.


DISKUSI :
1. Benarkah sejarah tidak dibuat tetapi tumbuh secara alamiah?
2. Volkgeist itu sangat abstrak, bersifat by design atau by nature?
3. Apakah mungkin mengadopsi semua tradisi, sekalipun saling bertentangan?
4. Apakah unsur politik+unsure teknis ini tidak menjurus hukum yang by design?



-SUB BAHASAN: Pluralisme Hukum

SUBSTANSI:

Terdapat 2 macam pluralism hukum yakni
Pluralisme lemah : posisi hukum negara sederajat dengan hukum-hukum lainnya seperti hukum adat, kebiasaan dll.
Pluralisme kuat : hukum negara ditempatkan pada kedudukan paling tinggi diantara hukum-hukum lainnya, artinya hukum lain dibawah dominasi hukum negara

REFLEKSI:

Merupakan kontra dari unifikasi hukum dan merupakan hasil dari mazhab sejarah. Pluralisme hukum muncul sebagai akibat ketidak-mampuan hukum negara menangani masalah-masalah hukum didalam masyarkat sehingga masyarakat secara inisiatif meng-cover tugas hukum negara sebagai social control, masyarakat demikian disebut vigilante. Hal ini terjadi karena masyarakat mempunyai wilayah sosial semi otonom artinya negara memang mempunyai kekuasaan untuk masuk ke semua wilayah hukum akan tetapi itu hanya suatu konteks belaka dimana kenyataannya ada beberapa wilayah yang tidak bisa dimasuki oleh hukum negara tetapi bukan merupakan kevakuman hukum sebab masyarakat mampu mengisi peran hukum negara tersebut sebagai vigilante.